REPRESENTASI SENI-MUSIK PADA RELIEF CANDI BOROBUDUR DAN TRANSFORMASINYA: Waditra Berdawai pada Relief Mahakarmawibhangga

Khasanah Musik Nusantara
“Sound of Bharrabudur”

REPRESENTASI SENI-MUSIK PADA RELIEF CANDI BOROBUDUR DAN TRANSFORMASINYA: Waditra Berdawai pada Relief Mahakarmawibhangga

Oleh: M. Dwi Cahyono bersama JAPUNG Nusantara

Sebagai suatu karya seni dalam konteks budaya, seni-pahat yang berupa relief candi tidak hadir dalam ‘kehampaan sosio-kultural’. Realitas sosial-budaya maupun fisis-alamiah merupakan konteks internalnya, yang turut memberi sosok terhadap karya budaya yang dihasilkan di suatu ruang dan waktu. Bahkan, tidak jarang relief candi hadir sebagai ‘rekaman (record)’ sejaman mengenai realias yang ada di sekitarnya. Dengan pemahaman demikian, relief candi bisa didayagunakan sebagai sumber informasi artefaktual mengenai realitas – termasuk di dalamnya realitas sosial dan budaya – padamana relief tersebut dpahatkan.

Sebagai sumber data budaya kebendaan (material culture) masa lampau, yang bersifat ‘tampak pandang (visualize)’, relief candi menghadirkan informasi yang berkenanan dengan aspek: (a) bentuk, (b) fungsi, (c) pengguna/pelaku serta cara penggunaan/melakukan, (d) suasana ketika peristiwa yang digambarkan berlangsung, hingga (e) siratan maknanya. Identifikasi mengenai aspek-aspek itu di dalam relief candi dapat dilakukan dengan mendeskripsikan relief sebagai sumber data tunggal. Namun, apabila sukar untuk dapat dilakukan hanya dengan cara ini, maka dapat memanfaatkan sumber-sumber data lain sebagai informasi pembanding dan pelengkap.

Relief candi adalah karya budaya sejaman dan kotekstual, dalam arti artefak yang dibuat pada waktu tertentu, yang dihadirkan pada bangunan suci (candi, stupa, parirthan) dari suatu agama untuk fungsi tertentu. Oleh karena itu. daripadanya bisa diperoleh suatu gambaran – setidaknya gambaran sebagaimana difahami oleh sang pemahat (taksaka) – mengenai hal-hal yang ada di lingkungannya dan pada masanya. Dalam relief di Candi Borobudur sebagai sumber informasi misalnya, informasi masa lalu atau rekaman lingkungan yang terkandung di dalamnya adalah perihal yang berasal dari medio abad VIII Masehi [ketika candi ini dibangun]. Adapun pesan yang disampaikan berkenaan dengan kehidupan di dunia pada masa itu atau pesan keagamaan menurut pandangan Mahayana Buddhisme – sesuai dengan latar keagamaan kompleks stupa Borobudur.

Walau kisah yang divisualkan dalam bentuk relief bukanlah peristiwa nyata di dunia kala itu, namun pernak-pernik yang digunakan oleh tokoh peran yang direlief adalah sesuatu yang fak-tual, dalam arti benar-benar ada di suatu tempat pada masanya. Dengan demikian, relief candi layak untuk diposisikan sebagai bahan (referensi sejaman) untuk mengungkapkan sesuatu yang terjadi pada masa lampau, dan lebih lanjut hasil pengungkapannya dapat didayagunakan secara transformatif untuk hal-hal tertentu yang nyata di masa sekarang,

B. Identifikasi Waditra Berdawai Relief Mahakarmawibhangga

Sebagai candi demikian besar bahkan kolosal, yang di sepanjang dindingnya – mulai dari teras ke-1 hingga teras ke-6 – memuat 1460 buah panil mengenai lima kisah keagamaan berlatarkan Mahayana Buddhisme. Kisah-kisah dalam relief cerita itu berhasil diidentifikasikan oleh: (1) pada tahun 1885 warga Rusia, S.F. Oldenburg, berhasil mengidentifikasikan relief dinding luar galeri pertama sebagai kisah tentang kompilasi kelahiran ulang Buddha, yaitu Jatakamala; (2) pada tahun 1901cendekiawan Belanda, C.M. Pleyte, mengidentifikasi rangkaian relief sebelah atas pada dinding galeri pertama sebagai kisah riwayat Buddha dalam naskah Lalitawistara, (3) pada tahun 1917 N. J. Krom mengidentifikasi rangkaian relief pada galeri kedua dan ketiga sebagai kisah Gandawyuha; (4) pada tahun 1931 cendekiawan Perancis, S. Levi, mengidentifikasi relief tersembunyi di balik kaki (teras I) Candi Borobudur sebagai Mahakarnawibhangga, kemudian (5) pada tahun 1938 F.D.K. Bosch menemukan bahwa rangkaian relief di dinding utama galeri keempat didasari lanjutan Gandawyuha, yang disebut Bhadracari. Bersama dengan relief-relief cerita di Candi Prambanan – yang sama kaya dengannya, relief pada kedua candi kolosil tidak berlebihan untuk dinyatakan sebagai ‘ensiklopedi visual’ mengenai banyak hal untuk masanya (abad X Masehi). .

Salah satu hal yang divisualkan dalam bentuk relief di Candi Borobudur tersebut adalah seni pertunjukan masa lalu, termasuk di dalamnya seni-musik. Sejumlah pengkaji musik, atau lebih luas lagi peneliti seni pertujukan masa Hindu-Buddha, seperti Jaap Kunst, Edi Sedyawati, Peter Fedinandus, Timbul Haryono, M. Dwi Cahyono, dsb. pernah menelaah tentangnya. Kendati demikian, bukan berarti bahwa semua hal mengenai musik masa lalu itu beserta tranformasinya untuk masa sekarang telah habis tuntas tertelaah. Sejuah ini, buku yang secara khusus membi-carakan tentang khasanah musik di relief Candi Borobudur atau semacam ‘Musical Sound of Borobudur’ belum pernah diterbitkan, yang padahal buku demikian merupakan referensi yang penting. Bukan saja bagi sejarawan dan arkeolog, namun juga bagi para musisi dan pelaku seni pertunjukan pada masa sekarang.

Berangkat dari cara pandang demikian, berikut hanya ditelaah mengenai dua panil relief pada kisah “Mahakarmawibhangga’ pada teras pertama Candi Borobudur. Relief Karmawibhangga pada dasarnya berisi naskah Mahakarmawibhangga, yakni hukum sebab akibat. Menurut hu-kum sebab-akibat bahwa suatu perbuatan akan mendapat karma (balasan). Perbuatan yang baik (subakarma) menghasilkan kebaikan, dan perbuatan jahat (asubhakarma) mendapat balasan yang tidak baik. Namun, terlepas dari ‘hukum sebab-akibat’, relief ini melukiskan gambaran kehidupan sehari-hari masyarakat pendukungnya, yang dalam hal ini masyarakat Jawa Kuno pada abad IX-X Masehi.

Ada sepuluh panil pada relief cerit Karmawibhangga yang memuat gambaran tentang berbagai instrumen musik (waditra), yaitu panil relief nomor 1, 39, 47, 48, 52, 53, 72, 101, 102, dan 117. Berdasarkan ketegori umum instrumen musik, yang terdiri atas empat jenis (idiophone, membraphone chordophone, dan aerophone), semua jenis ini hadir di relief Karmawibhangga. Pada dua panil tertelaah itu, divisualkan para musisi yang tengah memainkan waditra berdawai (chrodophone). Untuk memudahakan identifikasi, kedua panil itu disebut dengan ‘panil A’ dan ‘panil B’.

Panil A menggambarkan dua musisi pria memainkan waditra berdawai. Seorang dalam posisi berdiri sambil memainkan waditra berdawai dengan resonator berbentuk gemuk (oval melan-cip ke atas), leher (neck, stang pengetur nada) lurus panjang, namun sayang tidak jelas jumlah tuning peg-nya. Seorang musisi lain dalam posisi duduk memainkan waditra berdawai dengan resonator berbentik gemuk (oval melancip ke atas), neck bagian atas serong ke kanan dan ujung atasnya berbentuk gelung, tuning peg-nya berjumlah empat. Selain itu ada kemungkinan musisi yang ketiga, yaitu seorang wanita yang kelohatan tengah memukul simbal berdiameter lebar.

Ketiga musisi itu mengenakan kain panjang bawahan (dodot), bertelanjang dada, dengan rambut bersusun dua. Aksesoris berupa kalung (hara), kelat bahu (keyura), gelang tangan (kankana), jamang dan sumping. Penyajian musik ini dimaksudkan untuk memberikan suasana musikal dalam suatu audensi, sehingga musik yang disajikan mustinya bernuansa lembut. Tergambar seorang bangsawan berdiri mengenakan kain panjang sebatas mata kaki, bertelanjang dada, dan bermahkota ramabut yang disanggul tinggi bersusun dua (jathamakuta), Aksesori berupa hara, keyura, kankana, binggel, jamang dan sumping, Ia menghadap ke bangsawan lain yang dalam posisi duduk pada suatu pedestal tinggi dengan seorang wanita duduk di belakangnya. Bangsawan yang disebut terakhir juga ber-jathamakuta, beraksesoris keyura, hara, kankana, jamang dan sumping. Lingkungan penjajian adalah suatu tempat terbuka, padamana terdapat seseorang membawa payung dan sesorang lain di sampingnya, serta dua orang berada dalam posisi duduk. Menilik adanya pedestal tinggi, penggunaan payung maupun busana-aksesoris yang dikenalan okeh para tokoh peran, tergambar bahwa lingkungan penyajian musik adalah di kalangan bangsawan.

Panil B menggambarkan seorang musisi pria dalam posisi duduk bersila memainkan waditra berdawai. Resonator berbentuk langsing, yang mengarah pada bentuk persegi empat panjang, neck pendek, dan jumlah tuning peg dua buah. Kepala musisi hanya berambut pendek tanpa dianggul, berkain panjang bawahan dan tidak mengenakan aksesori. Lingkungan penyajiannya adalah di bawah pohon yang rindang, di lingkungan permukiman luar keraton. Tergambar dua orang perempuan dari lingkungan bangsawan, dan pada sisi lainnya menggambarkan beberapa orang yang tengah terlibat dalam pemberian derma di depan suatu rumah tinggal. Areal yang digambarkan adalah lingkungan di luar keraton, di permukiman rakyat jelata.,

Menilik bentuk maupun cara memainkannya, dapat dikategorikan sebagai ‘waditra berdawai (chrodophone)’, yakni suatu jenis instrumen musik yang terdiri atas atu atau lebih dawai dan resonator, yang sumber bunyinya berasal dari dawai yang dipetik, digesek atau meski jarang ada pula yang dipukul dengan tongkat kayu. Waditra berdawai yang diganbarkan pada relief ini masuk dalam kategori waditra berdawai terpadu, yang mempunyai jumlah dawai sebuah atau lebih, dengan letak resonator menjadi satu dengan tempat dawainya. Waditra berdawai terpadu terdiri atas berragam bentuk lute dan harpa. Lute adalah waditra dengan dawai satu atau lebih, dengan resonator sejajar dan menjadi satu dengan dawainya. Jenis ini dilengkapi dengan leher yang lurus, bengkok atau mematah pada tempat puteran setelan dawai (tuning peg). Bentuk resonatornya ada yang langsing, ada pula yang berbentuk pendek-gemuk. Ada yang dilengkapi dengan fret, namun ada pula yang tidak. Cara memakai dengan atau tanpa alat penyentil dawai (pectrum). Musik yang dihasilkannya bersifat melodis.

Pada relief ini ditampilkan tiga ragam bentuk wadtra berdawai menurut bentuk resonatornya, yaitu, (1) resonator gemuk, dan (2) resonator langsing. Pada resonator gemuk, terlihat bentuk yang oval melancip ke arah atas. Ada dua varian dari waditra dengan rosonator berbetuk gemuk ini ditilik dari bentuk neck-nya, yaitu (1a) neck lurus panjang, namun jumlah tuning peg kurang jelas – Jaap Kunst mengidentikasikan sebagai bar-zither dengan tuning peg yang jelas, namun tidak disebut berapa jumlah dawainya, (1b) neck membengkok ke arah kanan di bagian atas, dengan tuning peg berjumlah empat. Waditra dengan resonator langsing mengarah pada bentuk relatif persegi panjang, neck lurus panjang, dan tuning peg berjumlah dua. Pada ketiga wadtra berdawai itu tidak tergambar jelas apakah dilengkapai dengan fret ataukah tidak.

Mencermati resonatornya yang oval melancip ke atas, waditra jenis ini bisa diidentifikasi sebagai apa yang dalam Bahasa Jawa Kuna disebut ‘ma[n]deli’ atau varian sebutannya ‘medeli, mendeli atau madeli. Istilah-istilah itu dalam susastra Jawa Kuna dan tengahan dijumpai pada kidung Malat (versi A, IX.52a), Tantri Kamandaka (17) dan Smarawedana (14.15a). Menurut musikolog India bernama K.V. Ramachandran, yang pendapatnya diacu Jaap Kunst (1968), mandeli lebih mengarah pada ‘mandali’, yaitu waditra petik yang berjenis wina. Berarti, dapat dimasukkan ke dalam kelompok bar-zither yang mengalami perkembangan.

Salah satu varian waditra dengan resonator gemuk itu, memperlihatkan neck bengkok ke arah kanan, yang ujung atasnya berbentuk gelung. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang dalam sumber data tekstual disebut ‘“rawanahasta” – secara harafiah berarti : tangan (hasta) Ravana. Dinamai demikian lantaran lehernya dilengkapi dengan ‘motif gelung (scroll)’ yang berbentuk tangan (Sach, II, 1923:112). Istilah “wina-rawanahasta” dijumpai dalam susastra Wirataparwa (52), Uttarakanda (52), Agastyaparwa (371) mauun prasasti Paradah II (B.46), sebagai widitra pengiring tari dalam acara kesenian tatkala berlangsung acara manusuk sima. Variasi sebutan lain adalah “wina-rawana”, sebagaimana tertera dalam kakawin Arjunawiwaha (XXXI.1). Besar kemungkinan, widitra ini pernah terdapat di Jawa jauh sebelum tahun 907 Masehi (TBG 67). Terbukti, Prasasti Taji (B.6) yang bertarikh Sanjaya 694 (910 Masehi) menyebut tentang permainan rawana-hasta. Serupa itu, prasasti Ayam Teas (OJO CVIII) memberitakan tentang permainan rawana-hasta oleh si Mandal. Bahkan, prasasti Taji (B.22) menyebut pekriya-nya, yang dinamai “panday arawanasta”. Baik mandeli (mandali) maupun wina-rawana merupa-kan pengaruh waditra India, sebagai konsekuensi pengaruh dominan budaya India di Nusantara antara abad IV-X Masehi.

Untuk waditra berdawai dengan resonator langsing, yang bentuknya reatif persegi panjang dan sedikit menggembung ke sisi samping kanan-kiri pada bagian tengah, belum diperoleh bentuk pembandingnya di India, Asia Timur maupun negara-negara lain di Asia Tenggara. Alih-alih justru perlihatkan persamaan dengan sampe atau sape, yaitu alat musik tradisional Suku Dayak, yang dimainkan dengan cara dipetik. Suku Dayak di Kalimantan Timur menyebutnya ‘sampe; yang dalam bahasa lokal dapat diartikan “memetik dengan jari’. Dari artinya diketahui dengan jelas bahwa waditra ini dimainkan dengan cara dipetik. Penamaan alat musik Melayu Dayak ini ternyata berbeda-beda di tiap sub etnis suku Dayak yang ada di Kalimantan Timur., Nama ‘sampe’ digunakan oleh suku Dayak Kenyah. Adapun Suku Dayak Bahau dan Kanyaan menyebutnya dengan ‘sape’. Suku Dayak Modang mengenal alat musik ini juga sebagai sempe, sedangkan orang Dayak Tunjung dan Banua menamai dengan ‘kecapai’. Dahulu dawai sampe menggunakan tali dari serat pohon enau, namun kini sudah memakai kawat kecil. Acapkali di bagian kepala sampe (ujung gagang) dipasang hiasan ukiran menggambarkan taring-taring dan kepala burung enggang.

C. Transformasi Lintas Waktu di Hari Raya Kebudayaan Borobudur

Sebagai alat musik yang konon nyata adanya, berdasarkan bentuk dan cara memainkannya, semestinya waditra berdawai tersebut dapat dibuat dan dimainkan untuk masa sekarang. Oleh karena ukuran relief dan keausan batuan candi, maka yang dapat diwujudtampakkan hanyalah garis besar bentukknya. Adapun detailnya, seperti jumlah dawai, notasi dan bunyi musikalnya tidaklah sepenuhnya bisa dijaminan kesamaannya. Pada perhetan “Hari Raya Kebudayaan’ di pelataran candi Borobudur (Taman Lumbhini) dan di empat panggung pada penjuru mata angin yang masing-masing mewakili lima dari dwidasa (20 desa) sekitar Candi Borobudur, waditra berdawai yang dibicarakan di bagian terdahulu diwujudtampakkan, dibunyimusikalkan, dan diaramsemen menjadi lagu berjudul ‘Padma Swargantara’.

Relief waditra berdawai pada cerita Karmawibhangga itu, atas prakarsa dari Trie Utami, Redy Eko Prasetyo, Bachtiar Djanan dan Indro Kimpling Suseno didiskusikan untuk diwujudtampakkan, sehingga menghasilan ide ‘Sound of Borobudur’. Alat musik yang tergambar di relief itu dibikin kembali buah hasil diskusi bersama. Komposisi pun tercipta dengan formasi Redy, Rayhan, Aak, John Arief, Ali, dan juga Trie utami. Kemudian Dewa Bujana dilibatkan untuk membuat tambahan komposisi bernuansa spiritual. Sebuah lagu digarap oleh Dewa Bujana dari lirik yang diciptakan Trie Utami, berjudul “Padma Swargantara”, Terkumpulah pemain musik Nusantara yang akhirnya melahirkan Sound of Borobudur.

Semua ini terwujud dalam sebuah kegiatan “Borobudur Cultural Feast”, suatu upaya membangun kembali rajutan spirit Gotong Royong masyarakat desa-seda sekitar Candi Borobudur untuk meraih kemandirian budaya laku dan lelaku demi mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan yang berkeadilan. Hari Raya Ke-budayaan Borobudur dihelat pada Sabtu-Minggu, 17 – 18 Desember 2016, dengan pengharapan menjadi momentum membuka kotak pandora ilmu pengetahuan yang selama ini tersimpan rapi di dalam Candi Borobudur lebih dari satu milenium lamanya.

Demikianlah, bukan hanya ‘Kapal Borbudur’ yang dapat diwujudtampakkan dan nyata bisa dilayarkan mengarungi samodra, namun waditra berdadawi yang terpahatkan di dua panil relief cerita Karmawibhangga juga terbukti dapat diwujudtampakkan, dibunyimusikalkan dan diaranesmen dalam suatu ansampel musik yang membahana menembus raung bunyi Nusantara bahkan dunia kelak. Dalam hal demikian, relief candi Borobudur maupun candi-candi lainnya adalah dukumentasi sejaman, yang untuk lintas masa bukan tidak mungkin apa yang tergambar itu ditransformasikan dalam bentuk riil dan digunakan pada masa sekarang. Transformasi yang demikian semoga menyusul untuk hal-ha lain yang terpahat di relief candi, sehingga khasanah budaya Nusdantara Lama tak hanya menjadi sekedar menjadi kisah usang yang hanya diamati di dinding candi, namun memberi kontribusi bagi kehidupan nyaya di masa kini dan menfatang.

Selamat atas bhaktibudaya para ‘pebhakti Borobudur’, utamanya karya transformatif sahabat Jaringan Kampung (JAPUNG) Nusantara atas ‘pembahanaan swara-musika waditra berdawai Nusantara’ yang terpahat di relief cerita Mahakarmawibhangga dalam Hari Raya Kebudayaan Borobudur (17-18 Desember 2016). Inspirasi yang diperoleh ketika mengidentifikasi waditra berdawai di Candi Jajaguhu pada pertengahan tahun ini, menjadi picu kreatif yang menghasil-kan katya bermakna ‘Sound of Borobudur’ ini.

Salam budaya ‘Nusantarajayati’.
Nuwun.

Magelang-Malang, 17-20 Desenber 2016,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *