Pandangan Penyimak Awam
terhadap Sound Of Borobudur Movement
Oleh: mBilung Sarawita
anggota Komunitas TAKSAKA Magelang
Pengantar
Pertama, perkenankan tulisan ini menggunakan istilah “saya” … Kedua, ijinkan saya tidak mengikuti kaidah penulisan artikel ilmiah … Ketiga, ijinkan saya untuk tidak berbahasa tulis yang baik dan benar … Contoh, penggunaan tiga titik (…) untuk memisah dua kalimat ; atau huruf kapital SEMUA pada suatu kata atau frasa DI DALAM kalimat ; atau emoticon seperti dalam chatting di medsos … Itu memang sengaja, dan mohon tidak diedit … 😉 😀
Tujuan alinea pertama tersebut adalah untuk mengajak pembaca (termasuk akademisi) agar “mengosongkan diri” terlebih dahulu supaya bisa melihat sebutir emas di gumpalan lumpur … “Suwung”, kosong dalam kepenuhan, penuh dalam kekosongan … begitulah kira-kira … 😉 … Maka suara jangkrik bersahut-sahutan akan terhayati sebagai sabda alam yang indah, bukan sebagai pengganggu konsentrasi … J
Tulisan ini memang bikinan orang awam arkeologi, awam sejarah-ilmiah, awam antropologi, awam ilmu-budaya, awam etnomusikologi, awam segalanya … 😉 … Tetapi jika skripsi, tesis dan disertasi (bidang ilmu-ilmu sosial) merupakan hasil menyerap fakta kehidupan di masyarakat awam, maka pertanyaan kontemplatif-nya adalah: Siapa berguru pada siapa? … 😉
Mari kita mulai … J
Gaduh Gara-gara SOB Movement
Melalui Seminar dan Lokakarya bertema “Borobudur Pusat Musik Dunia” (tanggal 7-8-9 April 2021), Sound Of Borobudur Movement (SOBM) telah SUKSES BIKIN GADUH, bahkan sampai berhari-hari pasca kegiatan … 😉 😀 … Banyak yang bertepuk tangan memberi apresiasi positif, dan sebagiannya menambahi kritik konstruktif … _/\_ J … Namun tak sedikit pula yang gagal paham … 😉 😀 … Biasalah … Isi dunia kan warna-warni … J
Wujud replika alat musik di relief candi Borobudur yang diproduksi SOBM diragukan kemampuan akustiknya … Dengan logika “Jaman itu belum ada listrik”, alias “Seharusnya alat-alat itu akustik murni”, maka “Seharusnya tidak boleh membunyikan alat-alat itu dengan bantuan perangkat elektronik apapun” … 😉 😀 … Yang bilang begitu pasti karena tidak mudheng, karena tidak pegang langsung barangnya, karena hanya nonton via online … 😀 … Padahal sesungguhnya, alat-alat musik itu bisa dimainkan secara akustik, dan sempurna … Disambung perangkat elektronik, ya karena untuk kepentingan siaran online, supaya dunia bisa menikmati lebih nyaman … J
Bunyi replika alat musiknya dipertanyakan … “Emang bener? Alat musik di relief candi Borobudur itu jaman dulu bunyinya kayak gitu?” … Lho? … 5 tahun kerja SOBM kan termasuk studi lapangan ke berbagai tempat (di dalam dan luar negeri) yang masyarakatnya masih memainkan alat-alat musik “mirip itu” (kalau tidak boleh dibilang “persis itu”) … Baik yang idiophone, membraphone, chordophone maupun aerophone, bunyinya ya memang kayak gitu … Kalaupun ada beda, paling ya cuma beda-beda tipislah … 😉 … Kerja panjang ini mustinya diapresiasi positif … Setidaknya, ini sudah jauh lebih nguri-uri tinggalan leluhur, tinimbang mereka yang tidak berbuat apa-apa … 😉
Aransemen dan komposisi musik dalam 3 lagu yang ditampilkan online juga dipersoalkan … “Kok ngepop banget sih?” … “Kan mestinya musik yang bernuansa keagamaan Buddha?” … Yang bilang begitu pasti tidak menyimak paparan tim SOBM, yang waktu itu diwakili oleh Purwacaraka, Dewa Bujana, Trie Utami dan Budi Dalton … Intinya bahwa kerja mereka BUKAN untuk membuat musik SESUAI KISAH yang termuat pada PANEL-PANEL relief candi Borobudur (yang merupakan bahan pengajaran agama Buddha) … MELAINKAN, kerja mereka “hanyalah” sebatas REINTERPRETASI terhadap WUJUD DAN BUNYI alat-alat musik yang “gambarnya” ada di dinding candi Borobudur, dalam rangka mengapresiasi PERADABAN SANGAT TINGGI yang pernah dicapai oleh leluhur Nusantara, dan menularkan semangat apresiasi itu kepada masyarakat luas, terutama generasi millenial … Se”simpel” itulah maksudnya… J
Movement Bukan Sekadar Grup Musik
Tapi kegaduhan tadi justru membuktikan bahwa SOBM telah SUKSES untuk konsisten pada namanya, yang mengandung kata Movement … Gerakan … ya … GERAKAN … J … Jamak lumrah, jika suatu gerakan menimbulkan kegaduhan … 😀 … Gerakan Reformasi 1998 misalnya, itu gaduh banget, tapi kegaduhan itu kemudian menghasilkan tatanan yang relatif lebih baik … J … Jika SOBM tidak bikin gaduh, itu malah pertanda tidak berhasil … “M”nya gagal sebagai Movement, dan hanya menjadi Music-group biasa … 😉
Tim SOBM sendiri sudah menjelaskan, yang ditampilkan secara online kemarin itu barulah AWAL … Akan disambung kerja-kerja panjang berikutnya … J … Bahkan, kalau ada kelompok-kelompok musisi lain yang ingin bikin karya sejenis, yang menurut telinga mereka tidak “ngepop”, tentu dipersilakan seluas-luasnya, diapresiasi positif sebagai turut nguri-uri tinggalan leluhur … J
Yang jelas, sebagai AWAL, tim SOBM telah berusaha membuat karya yang sedapat mungkin MENARIK bagi kalangan generasi millenial secara “lintas SARA” … J … Asumsinya, jika di tahap awal langsung disuguhi aransemen dan komposisi yang terlalu klasik (“musik tradisional”), mayoritas anak-anak millenial akan cenderung enggan mendekat, karena musik semacam itu “nggak gue banget deh” … 😀 … Asumsi lainnya, jika di tahap awal langsung disuguhkan musik yang bernuansa religius tertentu, misal nuansa religius Buddhis, kalangan Non-Buddhis akan cenderung “pasang batas” duluan … Atau, jika di tahap awal disajikan musik yang terlanjur berkonotasi sebagai musik etnis tertentu (misal musik tradisional Jawa), kalangan Non-Jawa akan cenderung merasa “itu bukan musik kami” … 😉
Lagu ke-3 yang dinyanyikan Trie Utami adalah Indonesia Pusaka, dengan iringan alat-alat musik tersebut, sangat tepat untuk membuktikan bahwa “alat musik itu TIDAK PUNYA SARA” … Yang punya agama, suku, ras, golongan, adalah manusia-manusianya … Sedangkan alat musik itu sendiri bersifat SELALU NETRAL … Manusialah yang punya hobi “melekatkan” segala sesuatu pada “identitas kepemilikan menurut SARA” … 😉 😀 :p
Justru dengan kesadaran bahwa alat musik itu bersifat SELALU NETRAL, kita bisa berangkat secara lebih SUWUNG untuk mengapresiasi PERADABAN SANGAT TINGGI yang pernah dicapai oleh leluhur Nusantara, TANPA PERLU TERJEBAK oleh SEKAT-SEKAT SARA … J … Emangnya yakin 100%, bahwa pekerja pembangunan candi Borobudur jaman dulu itu SEMUANYA penganut agama Buddha dan bersuku “Jawa”??? … ??? … ??? …
Mari kita lanjutkan obrolan tidak-ilmiah ini … J
Candi Borobudur Itu Apa Sih?
Dengan logika dan analogi sederhana … Pada jaman sekarang … Kalau kita melihat suatu bangunan yang terdiri dari ruang-ruang, di dalam setiap ruang ada papan tulis, di seberang papan tulis ada deretan bangku-bangku berlaci, di depan deretan paling kanan ada satu kursi dan meja bertaplak yang berhadapan dengan bangku terdepan, di atas meja itu ada penghapus, ada kotak berisi kapur tulis, ada mistar kayu 100cm, di dinding ada papan absensi, ada poster-poster pahlawan nasional, ada peta dunia, peta Indonesia … Kalau kita menebak, pasti kita akan bilang : sekolah, atau tempat kursus, atau tempat les bimbel, atau dan sebagainya, tapi intinya adalah TEMPAT BELAJAR SECARA SISTEMATIS … J
Nah … bagaimana dengan bangunan yang sekarang kita sebut candi Borobudur? … Kalau kita mau sedikit rendah hati untuk SUWUNG, melihat WUJUD candi Borobudur yang DEMIKIAN ITU, dengan akal sehat, apalagi ditambah pengetahuan tentang relief-relief yang ada di situ, kita mustinya akan sampai pada tebakan bahwa candi Borobudur adalah KAMPUS, tempat orang belajar secara sistematis … J … Kampus apa? … Belajar apa? …
Tentu, belajar tentang kehidupan itu seperti apa, dan belajar tentang bagaimana seharusnya manusia menjalani laku hidup menurut ajaran Sang Budhha … Para pengajarnya menggunakan relief-relief untuk menjelaskan materi pelajaran, sebagaimana guru-guru jaman sekarang menggunakan gambar-gambar di dinding kelas untuk mengajar para murid … J
Pertanyaannya : Adakah bukti bahwa SEMUA murid pada saat itu SUDAH beragama Buddha? Ataukah ada sebagian murid yang BELUM beragama Buddha tapi sedang tertarik untuk belajar tentang agama Buddha? … Dari kelompok murid yang kedua itu, apakah SEMUA memang berminat untuk menjadi penganut agama Buddha? … Ataukah ada sebagian yang niatnya hanya belajar agama Buddha (dalam arti hanya menyerap ajaran-ajaran tentang kehidupan, kebaikan dan kebajikan) tapi untuk diri-sendiri tetap menganut agama lain? … Apakah tidak mungkin saat itu keadaannya seperti saat ini, di mana orang Islam bisa kuliah di universitas milik yayasan Katholik, atau orang Kristen bisa kuliah di universitas milik yayasan Islam, dengan ibadah sehari-harinya tetap menganut ajaran agama masing-masing? … 😉
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan semacam itu, apakah kita tidak boleh menebak, bahwa candi Borobudur itu adalah KAMPUS INTERNASIONAL milik “SEMACAM yayasan pendidikan Buddhis” yang berstatus “universitas negeri” (karena dikelola oleh pemerintah kerajaan yang konstitusinya berdasarkan agama Buddha), NAMUN yang kuliah di situ tidak terbatas umat Buddha saja? … 😉
Adanya relief alat-alat musik yang “hidupnya” di berbagai tempat yang sangat jauh dari pulau Jawa, kalau kita berkenan untuk SUWUNG melihatnya, mestinya bisa menuntun kita untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu … J … Apa iya sih, orang Maluku, orang Papua, orang Kalimantan, orang di benua-benua lain, yang alat musiknya direliefkan di Borobudur, SUDAH beragama Buddha di tempat asalnya? … Jika benar bahwa mereka datang ke Borobudur untuk kuliah, apa iya sih, mereka SEMUA begitu datang langsung menjadi Buddhis, dan SEMUANYA lulus sebagai penganut agama Buddha? … J
Pertanyaan berikutnya : Adakah bukti bahwa SEMUA pekerja pembangunan candi Borobudur pada saat itu beragama Buddha? … Tukang-tukangnya, pekerja administrasinya, pengurus konsumsi dan logistiknya, apakah mereka direkrut berdasarkan “KTP” yang “harus Buddha”? … Ataukah ada sebagian dari pekerja itu yang direkrut berdasarkan ketrampilan dan keahlian, meskipun tidak / belum menganut agama Buddha? … Dari kelompok pekerja yang kedua ini, apakah SEMUA kemudian menjadi penganut agama Buddha, ataukah SEBAGIAN tetap diberi toleransi untuk meyakini agama lain? … 😉
Mari kita SUWUNG dulu untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu secara lebih jernih … J _/\_
Reinterpretasi DAN Revitalisasi
Nah … justru karena berbagai pertanyaan tadi, saya justru angkat topi pada tim SOBM yang mengambil langkah CERDAS untuk TIDAK TERJEBAK pada soal-soal “sektarian” dan sekat-sekat “primordial” … Biarlah jawaban ilmiah njlimet atas pertanyaan-pertanyaan itu menjadi pergumulan para akademisi sejarah, arkeologi, antropologi, geografi, ilmu budaya, etnomusikologi, ilmu “agama-agama”, dan sebagainya … J
Yang dilakukan tim SOBM sudah TEPAT … Fokus pada PERADABAN (BUKAN AGAMA) … Dengan fokus pada peradaban, maka nilai PEMULIAAN terhadap KARYA AGUNG LELUHUR NUSANTARA dan PENULARAN KESADARAN untuk kalangan millenial bisa lebih “lintas iman” dan “lintas etnis” … J
Saya, dengan segala kebodohan dan keawaman akademik seputar topik ini, melihat, dan merasa, dan menikmati, bahwa yang dilakukan oleh tim SOBM bukan sekadar Reinterpretasi, melainkan sekaligus REVITALISASI terhadap penggunaan alat-alat musik yang tergambar di dinding-dinding candi Borobudur … J _/\_
Semoga “M”nya tetap Movement … jangan sampai terjebak mandheg sebagai Music-group … J _/\_
Salam Budaya … !!! … J_/\_
Magelang, April 2021,
mBilung Sarawita,
mewakili Komunitas TAKSAKA (Pecinta Aksara Kawi)
😉